Gema JUMAT, 6 November 2015
Oleh: Dr. Jabbar Sabil, MA, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Pendidikan dayah mempunyai peran penting dalam masyarakat, bahkan dinilai mempunyai andil untuk melahirkan sosok ulama yang intelektual dan berperan aktif dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan agama Islam. Bagaimana kita melihat kurikulum dayah dalam konteks kekinian, simak wawancara singkat wartawan Gema Baiturrahman, Indra Kariadi dengan Dosen Fakultas Hukum dan Syariah, UIN ArRaniry, Banda Aceh, Dr. Jabbar Sabil, MA.
Bagaimana Anda melihat kurikulum dayah di Aceh pada konteks kekinian?
Kalau kita melihat pada konteks kekinian, prdigma berpikirnya itu lebih pada holistic, butuh pendekatan baru yang lebih parasif. Jadi disini, mengingat alumni dayah yang nanti akan hidup di masyarakat yang menghadapi berbagai persoalan, tentunya itu membutuhkan kecakapan berbagai lini.
Kurikulum di dayah, dengan pembelajaran selama enam tahun yang jenjangnya itu tsanawiyah dan aliyah, tentu tidak mungkin langsung bisa pada tingkat perguruan tinggi. Jadi disini kita bisa mengkonfrasifkannya dengan dayah masa kejayaan kesultanan aceh dulu. Dimasa kesultanan, dayah dengan jenjang yang demikian itu, juga belum produktif, hanya saja dimasa lalu ada yang namanya dayah teungku di chik. Dayah teungku chik ini adalah semacam pendidikan tinggi atau istilah zaman sekarang S2 atau S3-nya.
Apakah dayah seperti Mudi Mesra Samalangga, bisa menjadikan rujukan semua dayah di Aceh?
Saya sangat merasa senang pada akhir-akhir ini, beberapa waktu yang lalu ada teman yang mengkomunikasikan dengan saya tentang Ma’had ‘Aly di Dayah Mudi Mesra Samalanga. Ma’had ‘Aly itu adalah setara dengan S1.
Jadi disini kurikulumnya di perbaharui, dan hal yang sangat mengembirakan lagi adalah dimasukkan satu ke ilmuan yang baru dalam islam yang ilmu adalah ilmu maqasid. Ini sangat menarik, pada ilmu maqasid itu terdapat pengembangan konteks kekinian yang menjadi kebutuhan dasar untuk menjawab persoalan umat sekarang.
Apakah kurikulum yang ada di dayah itu masih dibutuhkan pada zaman sekarang?
Dayah dengan konteks kurikulum sekarang masih dibutuhkan, walaupun sekarang ini kita sudah memasuki pada pos modern. Jadi, pembelajaran yang ada di dayah itu, kalau kita ingin mendata kurikulumnya, yang paling utama adalah dibidang fi qh. Tetapi, di dayah itu,kalau kita lihat memiliki sejumlah pembelajaran yang memang hukum untuk kajian ke Islaman, seperti pengetahuan tentang bahasa mulai daripada nash, sara, ilmu balaghah, mani’, bayam dan juga yang lainnya itu, semuanya adalah bahagian dari kebutuhan dasar, untuk mampu mempelajari kajian ke Islaman, karena pada hakikatnya kita masih merujuk pada Al Quran dan Sunnah.
Nah, Al Quran dan Sunnah hanya bisa kita pahami dengan bahasa arab dan juga pemahamanpemahaman ulama terdahulu juga harus di kaji, yang mereka menggunakan bahasa arab pada abad kesekian. Pembelajaran di dayah memiliki yang lebih, karena mereka memang mempelajari bahasa arab yang klasik.
Bagaimana dengan konteks ke-Acehan?
Jadi, yang perlu di kembangkan adalah konteks ke acehan, seperti mata kuliah taqnim, atau isitilahnya proses peqanunan dan tentang system hukum serta memasukan kembali mata kuliah fi qh siyasah. Kalau di Fakultas Syariah dan Hukum ada namanya mata kuliah perundang-undangan disitu diajari kita bagaimana cara kita menyusun undang-undang dan qanun. Agar kita dorong, bagaimana konteks fi qh itu menjadi sebuah qanun yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh di Negari syariat islam ini.
Apa harapan anda kepada pemerintah?
Keberadaan dayah itu bisa di istilahkan dengan powerfull, punya sumber daya yang cukup bagus, yang sangat besar, karena memang pembelajaran di dayah itu punya ke istimewaan tersendiri yang sfesifik, kemampuan terhadap khazanah klasik. Penguasaan tehadap khazanah itu harus diberdayakan di tengah pengembangan pendidikan kita sekarang ini, agar tidak lepas dari akar ke ilmuan islam itu sendiri.
Jadi, pemerintah serius dengan pengembangan syariat islam, saya minta kepada pemerintah untuk meningkatkan Ma’had ‘Aly di dayah yang ada di Aceh dan di support sampai ke pengembangan kurikulumnya. Dengan keberadaan dayah di bawah Kementerian Agama itu, sudah berupaya mengembangkan kurikulum dengan pengembangan konteks kekinian. Tetapi Aceh memiliki empat bidang ke istimewaan, itu menjadi tanggungjawab pemerintah untuk memfasilitasi dengan Kementerian Agama, agar kurikulum Ma’had ‘Aly itu bisa melahirkan produkproduk dayah itu yang konfresif dan menyeluruh serta spesifesifik.