GEMA JUMAT, 18 JANUARI 2019
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Aceh Zulkifli mengingatkan masyarakat agar memerhatikan izin edar dalam setiap produk hasil olahan yang dibeli. BPOM tidak bisa menjamin keamanan penggunaan produk yang tidak memiliki izin edar.
Ia menjelaskan bahwa temuan paling banyak adalah kasus produk kecantikan, khususnya krim pemutih. Dari 11 kasus yang ditangani, tujuh di antaranya kasus kosmetik. “Masyarakat Aceh pengen cantik semua, tapi dengan barang ilegal,” terangnya kepada Gema Baiturrahman.
BPOM menemukan zat berbahaya merkuri dan hidrokinon pada krim pemutih. Kedua zat tersebut membahayakan kesehatan seperti timbulnya sel kanker kulit, merusak janin, dan muncul bintik hitam.
Produk lain yang tidak berani dijamin keamanannya yakni milo asal Malaysia dan teh hijau karena tidak memiliki izin edar. Bahkan dalam teh hijau yang beredar di masyarakat ada yang ditemukan zat pewarna. Artinya, hijau teh bukanlah hijau alami. “Barang kosmetik yang dibeli secara online rentan mengandung zat berbahaya. Makanya pembeli harus jeli memilih produk,” imbuhnya.
Oleh karenanya, sebelum masyarakat membeli produk, ia mengimbau untuk melihat kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa yang disingkat menjadi KLIK.
Lebih rinci ia menjelaskan bahwa pembeli harus mengecek surat izin edar dan label halal yang tertera pada sebuah produk. Berdasarkan surat keputusan bersama ada tiga lembaga yang berhak mengaudit kehalalan produk yakni Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Permusyawaratan Ulama (LPPOM MUI), BPOM, dan Kementerian Agama (Kemenag). Proses pencantuman label halal secara resminya hanya setelah ada surat izin edar dari BPOM.
Katanya, masih ada produk yang mencantumkan label halal tidak resmi. Logo halal yang resmi adalah logo lingkaran Majelis Ulama Indonesia dengan tulisan halal aksara Arab di tengahnya. “Logo halal kalau tidak seperti itu maka itu logo halal-halalan,” imbuhnya.
BPOM mengawasi
Ia mengimbau kepada calon pengusaha produk olahan untuk berkoordinasi dengan BPOM sebelum melakukan kegiatan produksi. BPOM akan mendampingi agar proses produksi produk tersebut sesuai ketentuan agar bisa memeroleh surat izin edar sebagai syarat mengurus pencantuman label halal LPPOM MUI. Sehingga ke depan produk tersebut tidak menjadi temuan oleh BPOM. Pengusaha bisa mengurus surat izin edar secara online. “Ini adalah bentuk penyadaran oleh BPOM kepada masyarakat agar senantiasa menjaga produknya dari unsur yang membahayakan,” lanjutnya.
BPOM setiap harinya bekerja mengawasi produksi dari pre market seperti sarana dan prasarana produksi, bahan yang digunakan, hingga post market.
BPOM memiliki anggaran yang cukup serta fasilitas laboratorium memadai untuk mengawasi produk yang beredar di seluruh Aceh. Dalam setahun BPOM menyampling 3.000 produk dengan metode acak dan peta produk prioritas. Hasil temuan BPOM diserahkan kepada pemerintah daerah untuk ditindaklanjuti. “Setiap hari kita bekerja di laboratorium untuk melihat produk tersebut aman atau tidak digunakan,” pungkasnya.
Ia menambahkan, BPOM hanya berwenang mengawasi produk hasil olahan, bukan produk segar seperti telur dan sayur-sayuran. Khusus produk rumahan itu menjadi tanggung jawab intansi terkait di tingkat kabupaten/kota.
Ke depan, ia berharap LPPOM MPU Aceh dan BPOM Aceh. Sementara itu, kewenangan Kemenag Aceh sendiri untuk mengaudit sebuah produk sudah dilimpahkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang belum lama ini dibentuk oleh Departemen Agama. Pengeluaran label halal dilaksanakan oleh BPJPH. Sedangkan kewenangan MUI adalah mengeluarkan fatwa halal.
Qanun SJPH
19 Desember 2016 Aceh telah memiliki Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Qanun SJPH ini bertujuan memberikan perlindungan, ketenteraman dan kepastian hukum kepada masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk halal dan higienis demi kesehatan jasmani dan rohani. Untuk itu, BPOM sangat mendukung Qanun SJPH agar produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat aman.
Sekretaris Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Permusyawaratan Ulama (LPPOM MPU) Aceh Deni Candra, mengatakan, masyarakat dan pemerintah harus saling bekerjasama melaksanakan qanun tersebut. Oleh karenanya, pemerintah perlu membina para pelaku usaha baik itu berupa sosialisasi, diskusi, dan bimbingan teknis.
Ia menambahkan, untuk nenata dan mengawasi pelaksanaan qanun perlu dibentuk tim terpadu melalui Keputusan Gubernur Aceh. Selain itu, perlunya pengaturan sanksi administratif pagi pelaku usaha yang melanggar, pengaturan sistem kerja sama Pemerintah Aceh dengan lembaga lain berupa pengembangan SJPH, serta prosedur pembiayaan sertifikasi halal yang dapat ditetapkan melalui Peraturan Gubernur dan Peraturan Ketua MPU. “Qanun SJPH adalah bentuk komitmen pemerintah dan masyarakat Aceh terhadap pelaksanaan syariat Islam,” jelasnya. Zulfurqan