GEMA JUMAT, 02 FEBRUARI 2018
Aceh kaya dengan seni dan budayanya. Kesenian dan kebudayaan Aceh merupakan sarana penyampaian dakwah Islam. Dalam tarian misalnya, dilantunkan syair-syair yang mengajak menaati Allah. Dengan kata lain, seni dan budaya Aceh merupakan metode sosialisasi syariat Islam secara kafah.
Seiring perkembangan zaman, keduanya terus berkembang. Seni dan budaya dipentaskan di panggung- panggung guna memperkenalkan Aceh di mata dunia, sekaligus merawat warisan leluhur. Namun, karena tantangan zaman, dibutuhkan sebuah regulasi kuat guna merawat seni dan budaya Aceh.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh merupakan salah satu lembaga pemerintahan yang massif mementaskan seni budaya Tantangan yang menghinggapi kedua variabel ini karena tidak ada qanun. Sehingga lahir sejumlah kekhawatiran. Kekhawatiran ini dirasakan sendiri oleh Kadisbudpar Aceh Reza Fahlevi.
Menurut Reza, qanun seni dan budaya perlu dirancang untuk menjaga seni dan budaya Aceh. Apalagi sekarang, seni dan budaya Aceh berada dalam tantangan budaya luar yang masuk. Budaya luar akan mempengaruhi keberadaan seni dan budaya Aceh yang murni.
Rancangan qanun tentang seni dan budaya diharapkan lahir pada 2018. Muatannya seperti batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. “Batasanbatasan tersebut, pelu kita duduk untuk merumuskannya,” ujarnya kepada Gema Baiturrahman.
Seni dan budaya sendiri sangat berpotensi meningkatkan perekonomian Aceh. Ia berharap, apabila wanun tersebut lahir, seni dan budaya Aceh terus berkembang dan memberikan manfaatnya. Apalagi, seni dan budaya Aceh tidak bertentangan dengan syariat Islam. Aceh yang merupakan daerah penerapan syariat Islam tidak menghalangi perkembangan kesenian dan kebudayaan Aceh.
Sekretaris Jendral (Sekjend) Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tu Bulqaini menegaskan, setiap pentas kesenian di Aceh tidak boleh bertentangan dengan seni dan budaya. Tidak boleh lelaki dan perempuan bercampur baur di acara pentas kesenian. Harus ada indikator-indikator yang mengatur boleh atau tidak sebuah pentas kesenian dilaksanakan. “Aceh saat ini sangat membutuhkan qanun yang berkaitan tentang seni dan budaya,” pungkasnya.
Menurutnya, ada kelompok dengan pemikiran ekstrim yang tidak membolehkan kesenian. Bahkan membaca
Alquran berirama sekalipun. Melalui qanun ini nantinya, diharapkan mereka bisa benar-benar memahami syariat
Islam.
Pemerintah seyogyanya selalu beker jasama dengan ulama melahirkan qanun ini. Misalnya dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Defi nisi seni dan budaya perlu diperjelas, sehingga masyarakat awan paham. Jangan sampai umat berbenturan dengan ulama dan umara. “Banyak fatwa MPU tidak berjalan karena tidak diimplementasikan pemerintah. MPU tidak bisa menjalankan, cuma memberikan fatwa,” lanjut Pimpinan Markaz Islah Al-Aziziyah ini.
Ia menambahkan, seni dan budaya merupakan salah satu daya tarik Aceh. Wisatawan akan semakin banyak berdatangan ke Aceh bila seni dan budaya berkembang dengan baik. Harapannya, qanun ini harus ada sesegera mungkin.
Umat Islam Aceh sangat mendambakan seni sesuai syariat. Karena mereka tidak tahu, maka hadirlah kesenian yang melanggar. Lokasi wisata serta pelayanan fasilitas umum harus islami. Potensi pengembangan wisata islami sangat besar. Aceh memiliki hak khusus serta undang-undang penerapan syariat Islam.
Ujung tombak penerapan syariat Islam adalah pemerintah. Kalau pemerintah paham syariat, tidak perlu berharap
penerapan syariat Islam berjalan maksimal.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Pemuda Dewan Da’wah Aceh (PDDA), Basri Efendi. Terkikisnya nilai-nilai seni dan budaya Aceh membuat qanun seni dan budaya sangat penting. Apalagi sekarang nilai-nilai seni dan budaya Aceh mengalami pergeseran.
Ada sejumlah hal yang perlu diatur dalam seni dan budaya, seperti plagiasi lagu. Qanun tersebut harus mengatur seni dan budaya secara komprehensif.
Pertentangan sebagian pihak terhadap pentas kesenian misalnya, bisa diakibatkan tidak sesuainya pentas tersebut sesuai syariat. Ketika qanun disusun, maka harus melibatkan berbagai elemen. “Qanun akan menjadi landasan hokum pelaksanaan pentas seni dan kebudayaan, bagaimana yang boleh maupun tidak,” ujarnya.
Belum Terlambat (Dalam Box) Budayawan Aceh Tarmizi A Hamid menuturkan, belum terlambat untuk melahirkan qanun seni budaya. Qanun ini seni dan budaya sangat penting. “Seharusnya setelah qanun syariat Islam diberlakukan di Aceh, qanun ini juga segera menyusul,” tambahnya.
Semua hal, ornamen, dan pernakpernik seni budaya harus dipertegas dalam qanun ini. Terutama yang paling pokok adalah seni budaya di Aceh harus berlandaskan sesuai dengan harkat dan martabat kelokalan Aceh. Harkat martabat di sini menyangkut hak hak keistimewaan dari Aceh sendiri, yaitu agama, adat, budaya, dan pendidikan.
Ia menambahkan, dalam qanun itu, semua hak-hak Aceh harus terwakili di dalam lembaran daerah. Jadi, harus jelas, adil dan seni budaya yang bermartabat dan berkeadilan yang sesuai dengan kehidupan masyarakat Aceh sendiri.
Masyarakat Aceh dari dulu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai seni budaya dalam mengisi pembangunan kemajuan daerahnya, dengan nilai seni yang berbudaya Islami.
Lebih tegas, seni budaya di Aceh harus berlandaskan Islam yang hakiki. Sementara yang tidak islami harus dimodifi kasi ke islami. Tarmizi mengatakan belum terlambat membentuk qanun seni budaya. Qanun seni budaya ini harus segera hadir sebagai payung hukum bagi masyarakat Aceh. Adanya qanun ini akan menjaga kemurnian seni budaya Aceh beserta kelestariannya.
“Islam sangat menyenangkan bagi kehidupan manusia, seni itu indah, seni itu lemah lembut, seni itu kasantunan nilai kehidupan dalam agama,” paparnya. Zulfurqan

