Sikap Orang Mukmin dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat

Gema Jumat, 30 Oktober 2015 Khutbah Jum’at, DR. Tgk. H. Syukri Muhammad Yusuf, Lc., MA, Pejabat pada Dinas Syariat Islam Aceh Perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah suatu keniscayaan. Karakter agam a Islam yang universal harus bisa menyahuti perkembangan zaman, menyesuaikan diri dalam konteks waktu dan tempat. Perbedaan pendapat adalah sunnatullah yang telah dimulai […]

...

Tanya Ustadz

Agenda MRB

Gema Jumat, 30 Oktober 2015
Khutbah Jum’at, DR. Tgk. H. Syukri Muhammad Yusuf, Lc., MA, Pejabat pada Dinas Syariat Islam Aceh
Perbedaan pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah suatu keniscayaan. Karakter agam a Islam yang universal harus bisa menyahuti perkembangan zaman, menyesuaikan diri dalam konteks waktu dan tempat. Perbedaan pendapat adalah sunnatullah yang telah dimulai di kalangan para sahabat semenjak Rasulullah SAW masih hidup. Perbedaan ini pada tataran akademis adalah hal yang wajar dan diperbolehkan, namun jika menimbulkan fanatisme yang pada akhirnya memicu perpecahan, bahkan permusuhan, maka hal inilah yang dilarang dalam Islam. Dalam bahasa syariat, perbedaan pandangan ini diistilahkan dengan “ikhtilaf” dan kadang disebut dengan “khilaf”. Keduanya memiliki arti yang sama, yaitu tiada kesepakatan (‘adamul ittifaq) dalam suatu hal. Fiqh yang menyajikan perbedaan pendapat ulama dalam masalah furu’iyah sering disebut dengan istilah “fiqh ikhtilaf”.
Dalam tradisi ulama Islam, fiqh ikhtilaf atau fiqh perbedaan pendapat dalam hal furu’ bukanlah sesuatu yang baru, apalagi dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab, karya ilmiah yang ditulis para ulama dan disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbedabeda dengan argumentasinya masing-masing.
Perbedaan pendapat antar ulama yang kemudian muncul madzhab-madzhab fiqh dalam Islam adalah khazanah dan simbul kekayaan syariat yang besar yang merupakan kebanggaan dan izzah bagi umat Islam. Hal ini menunjukkan betapa kayanya khazanah keilmuan dan konsepkonsep pemikiran dalam Islam yang dapat diterapkan umat Muslim dalam menjalankan agamanya sesuai perkembangan zaman, perbedaan tempat dan pergeseran waktu. Ini merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam sampai akhir zaman.
Dan sungguh indah ucapan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari perbededaan pendapat antara dia dengan sahabatnya: “Perbedaan pendapat (Khilaf) yang terjadi di antara kita adalah khilaf yang menggabungkan dan tidak menceraiberaikan, berbeda dengan khilafnya orang lain”. Perbedaan pendapat ini oleh para ulama sering diistilahkan dengan perbedaan keberagaman dan variatif (tanawwu’ wa itsra’) yang menawarkan banyak solusi untuk setiap masalah, bukanlah perbedaan yang menggiring umat kepada perpecahan dan konflik (tanazu’ wa tudhad).
Perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad fiqh, bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah. Karena itu perbedaan ini dinilai terpuji dan rahmat bagi umat, selama dapat disikapi dengan bijak dan penuh tasamuh.
Bahkan ruang lingkup perbedaan ulama adalah berkisar seputar perbedaan pemahaman manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap rahasia syariat dan memahami illat hukum dari teks-teks syariat. Jadi, perbedaan terjadi dikarenakan keterbatasan dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap harus beramal dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama sebab wahyu sudah terputus.
Adapun perbedaan yang tercela adalah perbedaan dalam masalah usul atau akidah, karena sesungguhnya hal itu dapat memecah belah umat Islam serta melemahkan eksistensinya, atau perbedaan dalam hal-hal yang bersifat qathi’i yang dipetik berdasarkan dalildalil qath’i, demikian juga perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (dhanni) yang disikapi dengan pertentangan dan perpecahan.
Ada beberapa sebab perbedaan ulama dalam perkara furu’, antara lain sebagai berikut:

  1. Perbedaan makna lafadz teks Arab.
  2. Perbedaan riwayat
  3. Perbedaan sumber-sumber pengambilan hukum
  4. Perbedaan kaidah usul fiqh
  5. Ijtihad dengan qiyas
  6. Pertentangan (kontradiksi) dan tarjih antar dalil-dalil menghadapi perbedaan

Menghadapi perbedaan
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang tidak ada halangan, alias boleh mengemukakan pendapatnya, selama masih dalam koridor dan batasan ruang lingkup ijtihad yang dibenarkan syariat dengan penuh adab, sopan tanpa celaan, cercaan, tidak saling menyalahkan dan seterusnya, agar terpenuhi makna rahmat dalam perbedaan ummat.
“Dan bagi masingmasing ada kiblatnya yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian (dalam) kebaikan”. [Al-Baqarah : 14].
Namun yang paling penting adalah bukan melarang perbedaan pendapat atau membumihanguskan pendapat yang berbeda, tetapi bagaimana sikap kita menghadapi perbedaan pendapat dalam perkara ijtihadiyah agar perbedaan pendapat ini menjadi rahmat bukan menjadi laknat. Dalam konteks ini ada pesan menarik dari Imam Syahid Hasan Albanna yang kemudian dipopulerkan oleh generasi muridnya, antara lain Syeikh Dr. Yusuf Qardhawi, yaitu: “Kita saling bekerja sama dan tolong menolong terhadap masalah yang kita sepakati, sementara terhadap masalah yang kita perselisihkan semua kita harus menahan diri dan saling menghargainya”. Artinya, sekiranya kita berbeda pendapat dalam hal qunut subuh, (kita harus menghargainya) namun kita masih dapat bekerja sama dalam hal shalat subuh karena semua kita sepakat shalat shubuh adalah wajib.
Untuk lebih jelas berikut ini kita angkat beberapa sikap yang harus menghiasi diri setiap Mukmin dalam menghadapi perbedaan pendapat, yaitu:
Pertama, menghargai pendapat orang lain
Hal yang terpenting dalam menyikapi perbedaan pendapat terhadap masalah ijtihadiyah adalah bagaimana seseorang bertindak lebih dewasa untuk dapat menghargai pendapat orang lain, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para Imam Mazhab. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah ketika menziarahi kuburan Abu Hanifah di Kofah, beliau melakukan shalat shubuh tanpa qunut yang dipandang berseberangan dengan pendapatnya. Selesai shalat para jamaah yang berada bersamanya saat itu bertanya kenapa beliau meninggalkan qunut sementara menurut mazhabnya qunut shubuh adalah sunat muakkad. Dengan penuh rasa kedewasaan beliau menjawab: “saya sengaja meninggalkan qunut sebagai penghormatan dan penghargaan kepada pemilik kuburan ini yang berpendapat bahwa qunut shubuh tidak disunatkan”.
Demikian juga, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara keras bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhabnya sendiri yang menyatakan bahwa bacaan basmalah dalam shalat harus dikecilkan. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Imam Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Madinah itu, mengeraskan bacaan basmalah dalam shalat jihar itu lebih utama.
Kedua, tidak mengklaim bahwa pendapatnyalah yang benar
Menarik untuk disimak bahwa mulai dari generasi para sahabat sampai dengan ulama mujtahid, mereka sangat berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum Allah atau syariat Allah. Namun mereka mengatakan, “Ini adalah pendapatku, jika benar ia berasal dari Allah, jika salah maka ia berasal dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya (pendapat saya).”
Demikian juga Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “jika hadits-hadits yang menjadi peganganku dalam berijtihad shahih maka inilah pendapat mazhabku”. Dalam kesempatan lain beliau pun tidak mau mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan tidak pernah salah seraya berkata: “Pendapatku adalah benar tapi masih ada kemungkinan salah, sementara pendapat orang lain adalah salah tapi masih ada kemungkinan benar”.
Ketiga, hindari sifat dengki, sombong dan meremehkan orang lain
Ketiga sifat ini dapat menutup hati dari menerima kebenaran dari orang lain. Setiap melihat orang lain beramal atau beribadah berbeda dengan tata cara kita beribadah maka akan selalu dikatakan mereka tidak punya ilmu, kita tidak perlu ikut-ikutan dan terpengaruh dengan orang-orang bodoh beribadah seperti mereka. Sikap yang kita tampilkan itu terkesan seolah-olah hanya kitalah yang paling benar, paling alim, paling cerdas dan paling paham segala-galanya sehingga kita akan menutup diri untuk belajar dan berguru kepada orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita. Sampai-sampai tidak mau mendengarkan pendapat kecuali hanya dari orang-orang tertentu saja dan telah dikultus.

Dialog

Khutbah

Tafsir dan Hadist

Dinas Syariat Islam

Belajar manajemen masjid

Pengurus Masjid Raya Baiturrahman menerima kunjungan kerja Pemerintah dan Pengurus masjid agung al munawwarah kota banjarbaru, kalimantan Selatan, Selasa (22/3) di aula masjid. kunjungan dimaksud

Nilai-Nilai Pendidikan Akhlakul Karimah

Gema Jum’at, 16 Desember 2016 Oleh Dr. Murni, S.Pd,I., M.Pd Dosen Prodi MPI Fakultas Tarbiyah & Keguruan UIN Ar-Raniry Pendidikan ideal adalah pendidikan yang mampu

Remaja Masjid Remaja Bisnis

GEMA JUMAT, 12 OKTOBER 2018 Oleh:  Sayed Muhammad Husen Salah satu sunnah Rasulullah Saw adalah menjadi pedagang atau pelaku bisnis. Sunnah ini pula yang hendaknya “ditularkan”

Menuju Islam Khaffah

Tabloid Gema Baiturrahman

Alamat Redaksi:
Jl. Moh. Jam No.1, Kp. Baru,
Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh – Indonesia
Kode Pos: 23241

Tabloid Gema Baiturrahman merupakan media komunitas yang diterbitkan oleh UPTD Mesjid Raya Baiturrahman

copyright @acehmarket.id 

Menuju Islam Kaffah

Selamat Datang di
MRB Baiturrahman