Sirine Legendaris Penanda Waktu Imsak dan Berbuka

Gema JUMAT, 10 JUNI 2016 BAGI masyarakat Aceh, khususnya wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, tentu tidak asing lagi dengan bunyi khas pertanda buka puasa di bulan Ramadhan. Raungan itu berasal dari sirine tua yang hingga saat ini masih berfungsi baik. Sirine tua yang katanya peninggalan zaman Belanda itu, ditempatkan di puncak menara Selatan Masjid Raya […]

...

Tanya Ustadz

Agenda MRB

Gema JUMAT, 10 JUNI 2016
BAGI masyarakat Aceh, khususnya wilayah Banda Aceh dan
Aceh Besar, tentu tidak asing lagi dengan bunyi khas pertanda buka puasa di bulan Ramadhan. Raungan itu berasal dari sirine tua yang hingga saat ini masih berfungsi baik. Sirine tua yang katanya peninggalan zaman Belanda itu, ditempatkan di puncak menara Selatan Masjid Raya Baiturrahman (MRB) Banda Aceh.
Saya berkesempatan melihat langsung sirine legendaris tersebut pada Sabtu (4/6/2016) siang. Ditemani Samsul Bahri, staf kesekretariatan masjid, kami diizinkan masuk ke menara setinggi 35 meter itu.
Samsul mengatakan, bunyi sirine itu hingga kini masih menjadi pengingat imsak dan berbuka puasa bagi masyarakat Banda Aceh dan Aceh Besar. Bahkan, sejak puluhan tahun lalu, suara khas tersebut menggema di RRI Banda Aceh, Radio Baiturrahman, dan sejumlah radio swasta lainnya, termasuk kini di Radio Serambi FM.
“Selama ramadhan, sirine ini dihidupkan tiga kali yaitu pada pukul 3 dini hari, saat imsak, dan berbuka puasa,” kata pria yang telah puluhan tahun mengabdi di MRB. Selanjutnya kami menaiki tiap anak tangga menara, hingga ke tingkatan ke-6, tempat benda pusaka itu bersemayam. Sedikitnya, ada 20 anak tangga di tiap tingkatan menara MRB Banda Aceh.
Saat mencapai puncak menara, Samsul menunjukkan kami sebuah benda unik menyerupai baling-baling besi yang sudah berkarat. Di sampingnya tersandar potongan drum minyak, sebagai penutup mesin tua saat hujan. Baling-baling itu terhubung dengan dinamo yang saklarnya berada di ruang operator kesekretariatan MRB. Dengan sigap, Samsul menelepon operator untuk menghidupkan benda kuno tersebut.
Spontan saja kami tersentak saat mesin tua itu tiba-tiba bergerak. Putaran kencang baling-baling besi itu menimbulkan suara seperti orang meraung. Ternyata bunyi sirine itu terdengar menakutkan dari jarak dekat, bahkan getaran sangat terasa saat kita berada di dekat mesin.
Samsul yang berada di belakang hanya tersenyum geli saat melihat kami panik. Setelah mendengar sirine berbunyi selama 5 menit, kami pun turun dari menara dan menjumpai si operator.
Heri Ansari (48), operator MRB yang juga bertugas sebagai operator sirine mengatakan, bunyi sirine dapat terdengar hingga radius 5 kilometer tanpa pengeras suara. “Kira-kira 5 km, atau kurang lebih sampai pelabuhan Ulee Lheue,” kata pria yang sejak umur 18 tahun bekerja di masjid kebanggaan masyarakat Aceh itu. Menurutnya, tidak ada perawatan khusus terhadap sirine, namun dinamonya perlu dicek secara berkala.
Heri menambahkan, bunyi khas sirine versi radio telah direkam sejak lama, dan diputar selama satu bulan setiap tahunnya. “Namun saya tetap rutin menghidupkan sirine itu bersamaan dengan bunyi di radio,” jelasnya.
Menurut dia, sirine tersebut aslinya pakai dayungan manual untuk menggerakkan baling-baling penghasil bunyi itu. Namun saat ditempatkan di menara masjid, alat tersebut dimodifikasi dengan memasang dinamo dan dihubungkan ke arus listrik. “Jadi operator tinggal menekan tombol saja untuk membunyikan sirine,” jelas Heri sambil menjelaskan baling-baling sirine tidak pernah rusak sejak dulu, hanya saja dinamonya yang sekali-kali perlu diservis.
 
Sejarah panjang
Untuk mendapat keterangan lebih lengkap tentang sejarah sirine MRB, pihak kesekretariatan menyarankan penulis untuk menjumpai Tgk H Ameer Hamzah, penceramah populer di MRB. Amir Hamzah merupakan mantan wartawan senior Aceh yang aktif berkecimpung dalam kegiatan sosial keagamaan, dan juga pengurus MRB.
Setelah membuat janji, saya berhasil menjumpai Ameer Hamzah, Senin (6/6) di kediamannya di Lambhuk. Ameer Hamzah disebut-sebut kesekretariatan MRB sebagai saksi kunci sejarah barang kuno tersebut. Penceramah Sejarah dan Kebudayaan Islam di MRB Banda Aceh itu mengatakan, sirine itu telah menjadi ikon pengingat sahur dan buka puasa sejak RRI Kutaraja ada.
Menurutnya, RRI Kutaraja berdiri beberapa saat setelah kemerdekaan. Saat itu Badan Perkeretaapian Aceh mempunyai 2 sirine pertanda masuk-keluarnya kereta. Ketika stasiun kereta api dibongkar pada tahun 80-an, satu sirine diberikan kepada Pengurus Masjid Raya Banda Aceh.
Dia katakan, dirinya mendengar asal muasal sirine itu langsung dari Imam Besar Masjid Raya pada era 1990an, Alm Tgk H Soufyan Hamzah. Disebutkan bahwa almarhum merupakan saksi sejarah perkembangan MRB dari masa ke masa. “Saya beruntung bisa mewawancarai langsung dia. Apa yang saya sampaikan ini, saya dengar langsung dari imam besar Sofyan Hamzah,” jelasnya.
Ameer mengatakan, timbul spekulasi di kalangan masyarakat saat ini terkait asal muasal sirine kuno itu. Ada yang mengatakan benda itu berasal dari zaman Belanda, namun ada juga yang katakan dari zaman Jepang. “Jika dikatakan itu sirine dari zaman belanda, bisa saja benar. Sebab sebelum kemerdekaan, Perkeretaapian itu milik Belanda,” katanya.
Dia menambahkan, sirine yang didengar di radio saat ini merupakan hasil rekaman, yang merupakan inisiatif Kepala Badan Penerangan Aceh pascamerdeka, Abdul Gani Mutiara. “Abdul Gani Mutiara saat itu juga menjadi kepala RRI Banda Aceh. Dia berinisiatif merekam suara sirine itu di piringan hitam, agar bisa disiarkan lewat radio dengan jangkauan lebih luas,” sebutnya, dan mengaku sirine tersebut direkam beberapa tahun setelah RRI Kutaraja didirikan.
“Rekaman suara sirine sudah ada sejak sirine belum dinaikkan ke puncak menara. RRI yang menjadi pelopor untuk merekam bunyi sirine dan diikuti Radio Baiturrahman yang baru didirikan pada 1973. Sedangkan pembangunan empat menara MRB selesai sekitar tahun 1968.
Hingga kini, raungan sirine MRB masih menjadi acuan masyarakat dalam menjalankan ibadah Ramadhan. Maka tak heran, ada semacam keyakinan di kalangan masyarakat Aceh–utamanya Banda Aceh dan Aceh Besar–sirine menjadi penanda waktu paling afdhal untuk berbuka maupun imsak. Eddy Fitriady/Serambi
 

Dialog

Khutbah

Tafsir dan Hadist

Dinas Syariat Islam

Mensyukuri Pendidikan Informal

Gema, 15 April 2018 oleh Dr. Sri Suyanta (Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry) Saudaraku, adalah suatu keniscayaan bahwa pendidikan dapat berlangsung

Pers Garda Depan Pembela Syariat

GEMA JUMAT, 7 SEPTEMBER 2018 Pers memiliki pengaruh besar dalam masyarakat, misalnya mampu menggiring opini publik. Karenanya, pers perlu diatur dengan baik supaya tidak memberikan

Kapankah Islam Masuk Ke Aceh?

Menentukan masuknya Islam di Nusantara biasanya dikaitkan dengan kegiatan perdagangan antara dunia Arab dengan Asia Timur. Banyak yang memperkirakan bahwa kontak antara Nusantara dengan Islam terjadi sejak abad ke- 7 Masehi.

Menuju Islam Khaffah

Tabloid Gema Baiturrahman

Alamat Redaksi:
Jl. Moh. Jam No.1, Kp. Baru,
Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh – Indonesia
Kode Pos: 23241

Tabloid Gema Baiturrahman merupakan media komunitas yang diterbitkan oleh UPTD Mesjid Raya Baiturrahman

copyright @acehmarket.id 

Menuju Islam Kaffah

Selamat Datang di
MRB Baiturrahman