Oleh : Sayed Muhammad Husen
Solidaritas kemanusian adalah solidaritas iman, sebab, solidaritas itu berangkat dari spirit iman untuk membantu saudara seiman bangkit dari keterpurukan. Bahkan, dalam kasus solidaritas terhadap Rohingya lebih dalam lagi: aktualisasi iman sorang muslim atau wilayah muslim (baca: Aceh) menunda kematian saudara seiman di tengah lautan lepas. Dengan spirit iman juga orang Aceh mengeluarkan saudaranya dari derita panjang.
Solidaritas ini ternyata mendapat sambutan positif berbagai komponen bangsa dan kekuatan internasional. Mereka mengapresiasi inisiatif dan keberanian orang Aceh menyelamatkan ribuan pengungsi asing. Mengangkut pengungsi Rohingya dan Banglades dengan biaya sendiri. Bahkan, media memuji Panglima Laot, sebagai lembaga adat laut yang efektif.
Sekarang, banyak pihak berinisiatif, bergerak dan menggalang kekuatan untuk menyesaikan masalah pengungsian ini. Bukan lagi hanya masalah kemanusiaan yang mengemuka, tapi kasus pengungsi Rohingnya dan Banglades ini ikut menguak misteri sosial, politik, militer, hak asasi manusia dan hubungan antar bangsa. Membuat elit bangsa dan dunia merespon tragedi kemanusiaan ini.
Lalu, apa yang harus kita dilakukan berikutnya? Semua pihak patut terus bergerak dan berbagi peran dengan baik. Kita harus tunjukkan, bahwa kemanusiaan kita masih hidup, iman kita masih aktual dan kita mampu melihat manusia lain sebagai manusia. Muslim Rohingya yang diusir secara sistematis dan pengungsi Banglades yang dieksploitir, adalah bagian dari kita. Bagian dari kemanusiaan kita. Bagian dari peradaban dunia ini.
Dalam konteks inilah, kita melihat, komponen sipil Aceh dan Indonesia perlu terus merapatkan barisan mengurus kebutuhan pengungsi, sebab pekerjaan ini tak bisa diharapkan lebih banyak pada negara, sebab Indonesia belum melengkapi regulasi pengungsi asing. Kemudian, pemerintah Indonesia dan Malaysia sebagai basis Islam di ASEAN, harus lebih aktif lagi menggalang kekuatan dunia Islam untuk menyelamatkan muslim Rohingya.
Dan terakhir, PBB masih dapat diharapkan tekanannya terhadap kekuasaan militer Burma, supaya mengakui etnis Rohingya sebagai bagian dari suku bangsa resmi. Menghentikan pemusnahan manusia, pembakaran, pengusiran dan melindungi hak-hak asasi manusia. PBB harus sadar, bahwa kedamaian regional dan internasional hanya dapat dicapai dengan penghargaan terhadap manusia dan kemanusian, termasuk terhadap Rohingya.