Suatu ketika Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani memberi khutbah yang paling pendek. Di mimbar, ulama itu berkata:
“Satu suap kau masukkan dalam perut orang yang lapar lebih baik dari membangun seribu Masjid jami’. Dan lebih baik dari memberi kiswah Ka’bah dengan kain sutera. Dan lebih baik dari orang yang qiyamul lail dan ruku’. Dan lebih baik dari berjihad melawan kekafiran dengan pedang yang terhunus. Dan lebih baik dari berpuasa sepanjang tahun di waktu panas.
Jika tepung itu masuk ke dalam perut orang yang lapar, maka ia mempunyai cahaya seperti cahaya matahari yang terang benderang. Sungguh beruntung bagi orang yang memberi makan orang yang lapar.” Begitulah bunyi khutbah beliau.
Tidak diragunkan, khutbah itu sangat pendek. Ajakannya sangat jelas yakni peduli pada kaum dhuafa. Di sekeliling kita, masih dijumpai warga yang makan belum mencukupi atau belum gizi yang cukup untuk tumbuh. Jika pun makan, mereka menyuap makanan yang murah dan kurang gizi. Sebut saja mie instant yang mengandung bahan kimia.
Jika dicerna lebih lanjut, petuah Syeik Abul Qadir itu bukan menahan umat membangun masjid yang megah dan besar. Silakan membangun masjid dan sebagainya. Namun keutamaan berbagi pada tetangga di sekitar sangat dibutuhkan. Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya.” (HR At-Thabrani).
Dalam kesempatan lain, Nabi bersabda “Barangsiapa yang memberi makan kepada seorang mukmin hingga membuatnya kenyang dari rasa lapar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam salah satu pintu surga yang tidak dimasuki oleh orang lain.” (HR. Thabrani).
Rasulullah mengajarkan untuk berbagi makanan kepada kerabat atau tetangga. Orang-orang yang sering berbagi makanan disebut terjamin masuk surga. Hal ini diterapkan oleh Nabi yakni berbagi makanan dengan kerabat dan tetangga meskipun jumlahnya tak banyak. Dalam hal ini, kita teringat dengan tradisi endatu kita yakni berbagi sepiring kue atau makanan ke siblah rumoh di kiri kanan depan belakang. Seorang Muslim berdosa jika perutnya kenyang sementara tetangganya kelaparan. Nabi bersabda: “Wahai Abu Dzarr, jika engkau memasak masakan berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu.” (HR Muslim)
Ada ratusan hadits yang mengumumkan perlunya berbagi kepada orang terdekat yakni dari keluarga, tetangga dan seterusnya. Prioritas tetap yang ada di lingkaran terdekat tempat tinggal. “Sesungguhnya orang terbaik di antara kalian adalah orang yang memberi makan.” (HR. Thabrani).
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Perbuatan apa yang terbaik di dalam Islam?” Rasulullah SAW menjawab, “Kamu memberi makan kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Persoalan umat Islam sekarang yakni merasa dirinya paling menderita, miskin dan sebagainya. padahal harta dan aset tersebar di mana-mana. pelit bin kikir menjadi salah satu penyebab umat Islam relatif berjalan di tempat atau umat masih hidup dhuafa. Ada kecenderungan tangan ingin di bawah. Mestinya, umat bersyukur jika tangan di atas alias memberi shadaqah, infaq, wakaf dan sebagainya.
Lazimnya, gelora bershadaqah bagi umat melimpah selama bulan puasa. gairah beribadah dan sebagai memuncak selama Ramadhan dengan berbagai faktor. Sebut saja karena memburu amal pahala yang melangit selama bulan suci tersebut.
Mulai 2 April nanti, umat Islam sudah menunaikan ibadah di bulan yang baik ini. Istiqamah bershadaqah selama bulan penghulu bulan ini adalah langkah baik bagi untuk melanjutkan ibadah rutin ini. Puasa mendidik umat untuk mengosongkan lambung selama lebih dari 10 jam.
Merasakan seperti kaum dhuafa yang kadangkala menahan lapar karena tidak ada yang bias disuap. Aktualisasi kepedulian kepada umat dhuafa melalui pelatihan atau pendidikan agar mereka bisa meningkatkan kemampuan menjemput nafkah adalah salah satu cara agar warga miskin bisa membebaskan diri dari lingkaran kemiskinan. Mesti ada pemikiran bahwa setiap kita harus memosisikan diri tangan di atas. ada batasan waktu yakini tangan di bawah alias menerima atau berstatus sebagai pengemis bisa berakhir. [Murizal Hamzah]