Gema JUMAT, 16 Oktober 2015
Kebutuhan penanggalan kalender Islam mulai terasa pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Pada saat itu, Umar menerima surat dari Gubernur Bashrah Abu Musa Al-Asyari. Isi surat itu menyatakan “Kami telah banyak menerima surat perintah dari Anda, tapi kamu tidak tahu kapan kami harus lakukan. Ia bertanggal Sya’ban, namun kami tidak tahu Sya’ban yang mana yang dimaksudkan Kemudian.
Umar pun mengadakan musyawarah untuk menentukan permulaan kalender Islam. Akhirnya diputuskan bahwa awal tahun Islam ditentukan sesuai dengan usulan Ali bin Abi Thalib. Penentuan awal tahun Islam berdasarkan waktu hijrah nabi dari Mekkah ke Madinah. Kemudian diputuskan juga bahwa Muharram merupakan bulan pada awal tahun Islam. Sekarang tahun Islam itu dikenal 1437 Hijriah.
Pimpinan Dayah Baitul Arqam Sibreh Syekh Zul Anshari, LC, menjelaskan, tanggal 1 Muharram yang bertepatan dengan 1 Hijriah bukanlah waktu hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Yatsrib, Madinah. Kalau dilihat dari tahun Hijriah, banyak ulama berpendapat bahwa nabi melakukan hijrah pada 26 Safar. “Inilah kesalahan masyarakat dalam memahami tahun baru Hijriah,”jelasnya pada pengajian di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Banda Aceh (15/10) kemarin.
Dikatakan, sebelum lahirnya kalender Islam, dalam menentukan tahun, masyarakat Arab menentukannya sesuai kejadian pada tahun tersebut. Misalnya tahun kelahiran nabi yang diberi nama Tahun Gajah.
Nama Tahun Gajah disepakati berdasarkan penyerangan Ka’bah oleh tentara Abrahah pada waktu itu dengan menggunakan gajah. Ia menambahkan, ditinjau dari bahasa hijrah berarti berpindah tempat. Tujuan nabi melakukan hijrah supaya supaya lebih leluasa dalam berdakwah dan diterima masyarakat. Bagi umatnya agar tidak terlalu mendapat banyak tekanan jika tetap menetap di Makkah. Hijrah yang dilakukan nabi ini berlandaskan pada keinginan untuk menyiarkan Islam. Jadi, berpindah tempat tinggal tanpa berlandaskan agama tidak bisa disebut hijrah. Sebab hijrah merupakan kata yang cukup agung. Ia mencotohkan seseorang yang berpindah tempat untuk meningkatkan kesejahteraannya. “Sesungguhnya segala amalan itu tergantung niatnya,”imbuhnya.
Khusus untuk bulan Muharram, dalam Al-Quran Allah menyebutnya syahrullah. Amalan kebajikan yang dikerjakan pada bulan ini cukup tinggi. Sehingga dianjurkan kepada muslim untuk meningkatkan ketaatannya. Misalnya, berpuasa dan melaksanakan shalat malam. Pada bulan haram ini Allah melarang berperang, penyiksaan.
Tapi tidak berarti pada bulan lainnya Allah mengizikan melakukan penyiksaan. Sedangkan secara maknawiyah, ada yang namanya hijrah i’tikadah, hijrah fikiriah, dan hijrah suluki. Hijrah itikadiah artinya perubahan i’tikad. Contohnya seorang non muslim yang menjadi mualaf. Hijrah suluki artinya meninggalkan sifat-sifat yang jelek yang ada pada seorang diri hamba.
Berkaitan dengan hijrah suluki, Syekh Zul Anshari menyayangkan masih terdapat masyarakat yang sering mengesampingkan persoalan agama. Hal ini terbukti dengan masih terjadinya sogok menyogok untuk menjadi PNS. Orang yang menyogok mencari celah agar tidak diklaim bahwa ia telah berbuat dosa. Alasannya, uang yang diberikan merupakan biaya administrasi. Padahal nabi bersabda untuk mengerjakan amalan kebajikan semampunya dan meninggalkan yang dilarang. “Ketika dikatakan meninggalkan yang dilarang, berarti dilarang secara penuh,”imbuhnya.
Selanjutnya hijrah fikriah, yakni mengubah konsep hidup sehingga lebih banyak menjalankan perintah Allah serta amalan kebajikan. Artinya tidak mendahulukan konsep hidup yang bersifat duniawi.
Pada Rabu (14/10) kemarin, beberapa daerah menyelenggarakan perayaan menyambut tahun baru hijriah dengan melaksanakan pawai. Ustadz Zul mengatakan bahwa tidak ada satu haditspun atau riwayat untuk merayakan tahun baru itu. Bahkan tidak ada amalan khusus dalam menyambutnya. Baik itu berupa doa atau shalat khusus dalam Muharram. “Perayaan tahun baru hijriah seperti perayaan hari raya (idul fitri) tanpa berpuasa,”terangnya. Zulfurqan