Gema JUMAT, 4 September 2015
Oleh : Murizal Hamzah
Ini bukan sekedar rutinitas tahunan. Ini adalah tradisi yang bermakna.
Dipersiapkan belasan tahun hingga puluhan tahun. Penantian panjang yang disikapi dengan segenap lahir batin. Mereka yang berpergian adalah yang telah memenuhi persyaratan memiliki kemampuan uang dan niat. Tidak cukup bermodal harta yang melimpah tanpa persiapan mental dan fisik. Inilah rukun Islam kelima berhaji. Setiap tahun, jutaan umat Islam beribadah di Mekkah dan Madinah sebagai tempat silaturrahmi terbesar di dunia.
Mereka bukan sembarang tamu. Mereka adalah Tamu Allah. Tidak semua umat bisa memenuhi panggilan yang sangat mulia ini. Kita menyaksikan, ada umat yang memiliki harta melimpah namun belum berhaji dengan berbagai dalil. Sebaliknyal, ada yang dari aspek pekerjaan seperti tukang cuci baju, penjual pisang tradisional dan lain-lain, namun tibatiba, nyak-nyak itu sudah memakai kain ihram untuk bersiap-siap naik pesawat terbang.
Di Aceh, ribuan Jamaah Calon Haji (JCH) mengalami hal yang sama.
Mereka bersyukur karena dapat berhaji setelah menunggu dengan sabar. Harap dipahami, waiting listing (daftar tunggu) mencapai lebih dari 10 ribu dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun. Insya Allah JCH Aceh terbang ke Tanah Suci mulai 9 September mendatang.
Mengingatknya masa tunggu berhaji hingga belasan tahun, sudah semestinya warga yang sudah berhaji berkali-kali untuk mengurungkan niat. Memberi kesempatan kepada yang belum berhaji untuk menunaikan ibadah yang banyak menguras pikiran dan keringat ini. demikian juga, anak-anak yang belum wajib berhaji, maka orang tua perlu memikirkan hal tersebut. sangat dibutuhkan kesadaran dari umat untuk tidak berlomba-lomba berhaji. Cukup sekali berhaji. Selebihnya, alihkan niat berhaji untuk memberi beasiswa pendidikan atau pemberdayaan ekonomi di sekitar tempat kita menetap. Memberi kesempatan kepada saudara seaqidah yang belum berhaji adalah salah satu bentuk menguji kesabaran bagi diri sendiri.
Siapa pun yang sudah berhaji dan umrah, terbesit perasaan mendalam yakni ingin kembali ke Tanah Suci. Merasakan nikmatnya beribadah selama 40 hari di Mekkah dan Madinah. Bisa dipahami, perjalanan mengharukan ini sudah diawali isak tangis oleh kerabat sejak dari asrama haji hingga menuju ke tangga pesawat yang bersamaan dengan ucapan talbiyah. Rasa haru terpencar ketika mendarat di Bandara Internasional King Abdul Aziz di Jeddah hingga air mata menetes di depan Kabah di Mekkah. Begitulah, kegiatan berhaji dari tahun ke tahun selalu menguras air mata dan energi lain. Itu semua dilakukan karena jutaan umat Islam di seluruh dunia untuk memenuhi undangan dari Allah SWT.
Apa target jamaah untuk haji? Tidak lain untuk menjadi haji mabrur.
Hal ini sudah ditegaskan oleh Rasulullah bahwa tidak ada pahala bagi haji mabrur, kecuali surga. Di tempat lain, Nabi bersabda,” Barangsiapa yang melaksanakan haji karena Allah, tidak melakukan rafats (berkatakata kotor) dan tidak fusuq (durhaka), maka ia kembali suci dari dosa seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan ibunya.” (H.R Bukhari dan Muslim).
Pelajaran lain dari berhaji yakni, umat Islam mesti rajin menabung, berhemat dan bekerja keras dan cerdas. Kewajiban haji hanya untuk muslim dan muslimah yang memiliki uang. Tidak ada kewajiban untuk kaum dhuafa. Sudah sepantasnya, umat memiliki cita-cita kaya di dunia dengan harapan mendapat surga di akhirat sebagai lawan dari ucapan biar miskin di dunia asal mati masuk surga di akhirat. Kalimat terakhir yang mengiring umat Islam tidak mempersoalkan miskin harta di dunia adalah salah satu warisan dari musuh Islam agar ekonomi dikuasi oleh non Islam.
Akhirukalam, “Labbaik Allahumma labaik (ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu).