Gema JUMAT, 01 April 2016
Perang Aceh yang terjadi pada kurun waktu 18731942 telah banyak menyumbangkan syuhada dan pahlawan. Salah satu pahlawan yang dari Aceh yang dikenal banyak akal, taktik dan strategi adalah Teuku Umar. Beliau berdarah Minangkabau dari datuknya Datuk Makhudum Sati. Ia dilahirkan tahun 1854 di Meulaboh, Aceh Barat.
Tidak banyak yang mengisahkan kehidupan bersama isteri pertamanya, Nyak Sofiah putri dari Uleebalang Glumpang atau pun saat ia kembali memperisteri Nyak Malighai, putri Panglima Sagi XXV Mukim. Dari perkawinan kedua inilah ia menerima gelar Teuku.
Namun dengan isteri ketiganya yang dinikahi pada 1880, Cut Nyak Dhien, janda dari Teuku Ibrahim Lamnga yang meninggal 1878 ini, menjadikan kedua sejoli sebagai pejuang gagah berani yang membawa kerugian besar bagi penjajah Belanda, sebaliknya sepak terjang keduanya diangkat sebagai pahlawan bangsa.
Karena keberanian dan bakat kepemimpinannya, warga menunjuknya sebagai Kepala Kampung Daya, Meulaboh. Walau tidak mengecap pendidikan formal namun ia suka membaca, khususnya koran berbahasa Belanda dan Inggris.
Teuku Umar termasuk tokoh pemuda yang langsung menyambut seruan berjihad oleh Sultan Aceh atas maklumat perang yang ditabuh pihak Belanda pada 26 Maret 1873. Kala itu usianya masih 19 tahun.
Salah satu taktik yang diperankannya adalah berpura-pura takluk. September 1893, Teuku Umar bersama 13 panglima bawahan serta pengikutnya menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja, kini Banda Aceh. Melihat kesungguhan Teuku Umar, ia diberi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland dan diberi kebebasan membentuk pasukan dengan 250 tentara terlatih dan bersenjata lengkap. Bahkan prajuritnya terus bertambah berikut 17 panglima sebagai tangan kanannya.
Demikian rapi siasatnya. Bahkan isterinya, Cut Nyak Dhien malu, marah dan menganggap pengecut akan sikap suaminya. Menghadapi isterinya, Teuku Umar hanya berkata penuh makna, “Mereka tidak tahu, biarkan saja sejarah yang akan membuktikannya.”
Benar saja, pada 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda. Bersama pasukan yang sudah dilengkapi 800 pucuk senjata, 25.000 peluru, 500 kg amunisi dan uang 18 ribu dolar, Teuku Umar yang dibantu Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan 400 orang pengikutnya membantai Belanda.
Tercatat, ada 25 orang tewas dan 190 luka-luka dari pihak Belanda. Rakyat Aceh memaklumi langkah kontroversi yang dilakoni sebelumnya. Bahkan mulai tahun 1896, seluruh pasukan perang Aceh berada di bawah satu komando. Ia ditunjuk Raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah sebagai panglima perangnya.
Selain ahli grilya, lisannya sangat pandai membangkitkan semangat berjihad. Ia menggambarkan Belanda sebagai kaphe, lalu melanjutkan dengan ucapan, Udep Share Matee Syahid – hidup mulia atau mati syahid.
Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar, untuk menyerahkan semua senjata kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu. Maka pada 26 April 1896 gelarnya sebagai Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda dicabut.
Febuari 1899, Belanda mengetahui kedatangan Teuku Umar di pinggiran Meulaboh. Di bawah komando Jenderal Van Heutsz dengan pasukan berjumlah besarnya mengepung keberadaan Teuku Umar. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Hari kelabu itu, 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
Tempat syahidnya, Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh, disitulah bapak dari seorang putri Cut Gambang ini dimakamkan. Cut Nyak Dhien tidak berlama sedih atas kematian suaminya. Cut Nyak Dhien, mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh melawan penjajah.
Pemerintah Indonesia menganugerahi Teuku Umar sebagai Pahlawan Nasional dengan SK Presiden No. 087/ TK/1973 tanggal 6 November 1973. (nA riYA iSOn/DBS)