Oleh : Murizal Hamzah
Salah satu keberhasilan orde lama yakni memaknai April sebagai Hari Kartini. Selama puluhan tahun, setiap 21 April digelar kegiatan Hari Kartini. Salah satu tradisi memperingati Hari Kartini yakni kaum ibu memakai kebayan. Hari kartini identik dengan kebayan. Hanya sebatas itu cara negara memahami semangat Hari Kartini. Tidak ada yang salah dengan sosok Kartini yang sudah berbuat semampunya pada eranya. Setiap tokoh memiliki masanya.
Kita tidak bisa menghukum kondisi masa lalu dengan kondisi sekarang. Yang muncul pun ada perdebatan menjelang 21 April. Berbagai pernyataan miring dan positif dilontarkan kepada sosok ningrat Jawa yakni Raden Ajeng Kartini sebagai istri keempat. Masa lalu berbeda dengan masa kini. Itu yang terjadi di Jawa. Bagaimana di Aceh?
Sejatinya, rakyat Aceh mesti memahami dan mengali semangat dari para endatu-endatnya. Bagi warga Aceh, masalah kesetaraan gender sudah selesai alias tidak perlu dibahas lagi. Fakta di Nusantara, hanya Aceh yang terbanyak menghasilkan pejuang perempuan bahkan memimpin pria dalam perjuangan. Sebut saja Sultanah Safiatudin yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Sultanah ini mampu berbahasa Aceh, Melayu, Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Bandingkan dengan kita sekarang, berapa bahasa yang kita kuasai?
Pada era Sultanah yang memerintah Aceh lebih 50 tahun yakni peduli pada ilmu pengetahuan dengan mendanai penulis untuk menulis. Maka lahirlah karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.
Pribadi yang sudah dikenal berikut ini yaitu Tjoet Njak Dhien yang dibuang ke Sumedang Jawa Barat pada 11 Desember 1906 oleh kaphe Belanda. Tjoet Njak Dhien yang rabun dirawat oleh Sanusi ulama Masjid Agung Sumedang yang diperintahkan oleh Bupati Sumedang Aria Suria Atmaja. Kelebihan Tjoet Njak Dhien yakni bisa mengajar baca Quran kepada anak-anak dan ibu-ibu sekitar rumahnya hingga dirinya dipanggil Ibu Prabu. Maklum, warga tidak tahu siapa dia yang sebenarnya.
Untuk berkomunikasi dengan Sanusi, Tjoet Njak Dhien berbahasa Arab. Dia tidak bisa bergaul dengan warga karena diawasi oleh Belanda. Hingga Tjoet Njak Dhien Teungku Fakinahmangkat, hanya beberapa elite Sumedang yang tahu siapa dia sebenarnya. Bahkan kuburan Tjoet Njak Dhien baru diketahui tahun 1960-an. Jelas Tjoet Njak Dhien adalah sosok hafidzah alias penghafal Quran.
Sosok lain yang jarang terungkap yakni Teungku Fakinah. Ada yang berpikir bahwa Fakinah itu adalah pria karena ada gelar teungku. Teungku Fakinah adalah ulama perempuan yang memimpin pasukan perang. Menyadari perang itu perlu logika dan logistik. Untuk masalah logika, perempuan ini memiliki kemampuan tempur yang handal. Sebaliknya untuk melengkapi logistik alias biaya berperang, maka dia membentuk Badan Amal untuk diberikan kepada gerilyawan Aceh.
Teungku Fakinah mengkoordinir perempuan terutama janda untuk berjuang. Semangat hikayat Prang Sabil ditebarkan. Tidak lupa, ulama permepuan ini keliling Aceh untuk bersilaturrahim sekaligus mengumpulkan sumbangan untuk biaya perang. Hasillnya, dia menerima sumbangan uang, senjata, makanan kering, pakaian dan sebagainya yang disumbangkan untuk logistik berperang. Tahun 1915, Teungku Fakinah menunaikan ibadah haji bersama suaminya. Berbulan-bulan waktu dihabiskan di kapal dalam pelayaran ke Mekah dalam usia 58 tahun dan wafat dalam usia 75 tahun pada 1938.
Sebagai umat Islam, maka sejarah Rasul, Nabi, Sahabat dan lain-lain adalah pelajaran terbaik untuk umat pada masa kini. Dari peristiwa masa lalu, kita bisa bisa bercermin untuk kebaikan pada era kini. “Sesungguhnya pada kisahkisah mereka (para Nabi dan umat mereka) itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (sehat).” (QS. Yusuf (12) :111).