Gema JUMAT, 4 Desember 2015
Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA
(Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh dan Dosen Siyasah pada Fakultas
Syari’ah & Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Titik temu DBHT yang kita maksudkan dalam artikel ini adalah; kesamaan pandangan, kesamaan perjuangan dan kesamaan gerakan antara Teungku Muhammad Dawud Beureu-éh (DB) dengan Tengku Hasan Tiro (HT) dalam perjuangan yang pernah dipimpin keduanya. Sebagaimana kita ketahui bahwa DB pernah memimpin perlawanan Aceh terhadap RI di zaman Orde Lama (Orla) dengan wadah Darul Islam/Tentera Islam Indonesia (DI/TII) dan HT pernah memimpin perjuangan Aceh terhadap RI di zaman Orde Baru (Orba) dengan wadah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Keduanya dapat dijuluki manusia raksasa yang telah membangunkan rakyat dari tidurnya sehingga menyatu untuk melawan kedhaliman di Indonesia.
Titik temu yang paling awal dapat kita katakan adalah; keduanya sama-sama berani melakukan sesuatu yang tidak berani dilakukan orang lain pada zamannya. Melawan rezim yang sedang berkuasa yang mempunyai peralatan dan persenjataan hebat bukanlah perbuatan mudah melainkan perbuatan mematikan, namun keduanya beranai melakuaknnya. Perlawanan tersebut dilakukan semata-mata untuk membebaskan Aceh dari cengkeraman Indonesia yang dhalim terhadap Aceh sehingga Aceh mandiri menjadi sebuah negara berdaulat di alam raya ini, keduanya menyatu dalam upaya tersebut walau berbeda dalam teknik dan mekanisme kerja.
Baik DB maupun HT keduanya berupaya keras untuk menginternasionalkan kasus perjuangan Aceh terhadap RI sehingga mendapatkan dukungan internasional dalam membebaskan Aceh dari Indonesia. DB pernah menunjukkan HT sebagai dutanya di Amerika Serikat untuk memasukkan kasus DI/TII Aceh keranah hukum internasional lewat jalur PBB dengan target segera mendapat dukungan PBB dan negara-negara di dunia agar Aceh terbantu cepat merdeka. Namun upaya tersebut tidak memihak kepada Aceh sehingga berakhirnya perjuangan Aceh tetap menjadi bahagian dari RI. Ketika HT memimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), beliau sendiri yang bermastautin di Swedia yang memasukkan perjuangan Aceh keranah dunia internasional untuk mendapatkan sokongan PBB dan negaranegara dunia, namun uapaya tersebut juga belum berhasil sehingga Aceh masih tetap menjadi bahagian dari RI sampai hari ini.
Metode gerilya yang pernah diterapkan dalam pergolakan DI/TII dan GAM mempunyai kesamaan gerak dan kesamaan cara. Kedua gerakan tersebut samasama memilih bergerilya di hutan-hutan Aceh untuk memerangi Indonesia agar melepaskan Aceh dari ikatan ke-Indonesiaannya. Metode gerilya DB memilih naik gunung dan sesekali menyerang pusat-pusat pertahanan RI, dan metode gerilya HT juga memilih gunung sebagai tempat berdiam anggotanya yang ketika tepat waktu menyerang pertahanan RI.
Kedua tokoh pemberani tersebut sama-sama mengharapkan seluruh bangsa Aceh mendukung dan membantu perjuangannya dengan caranya masing-masing. Yang berada pada posisi PnS silakan tetap di sana dan membantu perjuangan lewat jalur PnSnya, yang berposisi sebagai pengusaha silakan bantu lewat usahanya, yang berada pada posisi TnI/Polri juga silakan membantu menurut patut, minimal tidak mengganggu perjuangan Aceh. Jadi kedua tokoh tersebut pada prinsipnya tidak melarang bangsa Aceh berada dalam barisan RI namun meminta mereka membantu perjuangan lewat jalurnya masing-masing.
Dalam memberikan gelar kepada pemimpin tertinggi perjuangan, keduanya sama-sama memilih gelar Wali Nanggroe atau Wali negara kepada imam yang memimpin perjuangan dengan sebutan Wali negara Islam kepada DB, dan Wali nanggroe kepada HT. Gelar wali tersebut jarang-jarang digunakan para pimpinan perjuangan kemerdekaan di tempat lain, namun di Aceh dua perjuangan besar menggunakan istilah wali kepada pimpinan perjuangannya. Sebagai wali, baik DB maupun HT samasama memimpin perjuangan Aceh dalam rimba Aceh dengan komunikasi langsung kelapangan pertempuran sehingga untung rugi dalam perjuangan mudah diketahui.
Kesamaan lain yang menjadi titik temu mendasar antara DB dengan HT adalah; keduanya rela berkorban untuk Aceh dan masa depan anak bangsa Aceh. DB meninggalkan kemewahan hidup di kampong halamannya sebagai orang yang dimulyakan rayat dan juga dihormati serta disegani pemerintah RI demi perjuangan untuk mensejahterakan Aceh dan bangsa Aceh. Demikian juga dengan HT bersedia mengorbankan kepentingan bisnis dan meninggalkan anak isteri di negara orang kembali ke Aceh memimpin perjuangan dalam hutan belantara yang sangat rentan dengan kematian. Kedua tokoh Aceh tersebut merupakan lambang perjuangan Aceh dalam negara RI yang sudah berkiprah dengan susah payah. Walaupun Aceh tidak sempat lepas dari Indonesia, namun hasil perjuangan keduanya memiliki nilai yang sangat luarbiasa, terutama sekali nilai syi’ar dari sebuah perjuangan yang tidak semua orang mampu melakukan.