Jum’at, 14 Agustus 2015 M/
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman)
“Dan (Ingatlah), hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka semuanya kemudian Kami berkata kepada orangorang musyrik: “Dimanakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu katakan (sekutusekutu Kami)?. Kemudian tiadalah fitnah mereka, kecuali mengatakan “ Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah”. Lihatlah, bagaimana mereka telah berdusta terhadap diri mereka sendiri dan hilanglah dari mereka sembahan-sembahan yang dahulu mereka ada-adakan”. (QS. Al-An’am 22-24).
Ayat ini menerangkan tentang kondisi orang-orang yang ingkar, tentang kebohongan mereka pada hari Kiamat. Pada ayat sebelumnya telah dinyatakan bahwa ada sifat hasad dan dengki pada sebagian ahli kitab dan orang kafir terhadap turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad. Sementara itu pada ayat ini dijelaskan tentang buntunya hujjah dan argumentasi mereka yang tidak mentauhidkan Allah dalam kehidupan mereka sebelumnya di dunia.
Ayat yang bernuansa dialogis di atas menunjukkan keunggulan Dzat Allah swt terhadap semua bentuk ke Tuntutan ingkaran orang-orang kafir, baik itu orang yang tidak mengakui kebenaran Islam dari kalangan ahli kitab (Nasrani dan yahudi), ataupun orang-orang atheis yang hidupnya tidak mengakui adanya Tuhan, ataupun orang-orang yang mengadakan sembahan-sembahan lain selain kepada Allah, berupa agama ardhi dan sebagainya.
Pada hari itu orang-orang kafir tidak dapat lagi berkelit atas apapun dari ketentuan Allah. Pada hari itu mereka sesungguhnya telah sangat menyesal sebagai penyesalan yang tak terkira, sehingga pada ayat lain disebutkan: ‘seandainya mereka dihidupkan kembali ke dunia, mereka takkan menyekutukan Allah, dan menghabiskan masa kehidupannya di dunia hanya untuk menyembah Allah saja. Namun, penyesalan di hari akhirat tidaklah berguna lagi sedikitpun, karena Allah telah mengumpulkan catatan amalan dan mengembalikan kembali kepada manusia dan menjalani takdir yang ditentukan Allah di akhirat; surga atau neraka.
Terkait dengan hujjah atau argumentasi yang mereka nyatakan dalam kehidupan di dunia ini, dengan menyatakan berbagai teori yang menafikan Allah dan mengutamakan fikiran logis dan rasional tak terbatas serta faham materialisme yang mereka usung sehingga mereka tidak mengakui adanya pencipta alam semesta. Dalam hal ini, boleh jadi mereka nyaman dengan apa yang mereka yakini dalam kehidupan dunia, karena jawaban-jawaban empiris-ilmiah mampu memuaskan pertanyaanpertanyaan tentang kehidupan. Namun, semuanya akan menjadi tak bermakna, apabila kematian, kubur, alam barzakh serta akhirat menanti dengan pasti. Tak ada tempat untuk berlari, berhujjah dan sebagainya terhadap apa yang telah diyakini, diakui dan yang dilakukan di dunia ini, karena telah menafikan Allah sebagai Sang Pencipta. Allah akan bertanya dengan pertanyaan di atas: “Dimanakah sesembahan (termasuk keyakinan atheis), yang dulu kalian yakini?”. Tidak ada jawaban, selain ‘berdusta’ sebagaimana yang difirmankan Allah dalam ayat di atas. Allahummaghfirlanaa.