Gema JUMAT, 14 Agustus 2015
Khutbah Jum’at, Khatib DR. H. Armiadi Musa, MA, Kepala Baitul Mal Aceh
ADA sebuah kebiasaan yang bersifat alamiyah (semula jadi) pada manusia, bahwa ketika ia dilahirkan tangannya dalam keadaan mengepal dan ketika ia mati tangannya terbuka. Menurut ahli hikmah, hal ini mengandung filosofi tersendiri, bahwa manusia memiliki sifat dasar yang kikir/bakhil. Mereka beranggapan, selagi hayat masih dikandung badan, tetap mempertahankan hartanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Manusia baru melepaskan seluruh hartanya secara total pada saat ruhnya telah berpisah dengan badannya. Bukankah ketika manusia meninggal dunia, keadaan tangannya yang mengepal tadi telah terbuka?
Seyogianya untuk ‘membuka tangan’ kita tidak perlu menunggu sampai ajal tiba, asalkan kita mau mendobraknya dengan iman, yaitu kita paksakan diri, kita biasakan dan budayakan berinfaq di jalan yang Allah ridha. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan berkumpul antara kerakusan dan keimanan dalam hati seorang hamba untuk selama-lamanya”.
Infaq itu sendiri secara bahasa berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut istilah syariat, infaq adalah mengeluarkan sebagian harta yang diperintahkan dalam Islam. Infaq berbeda dengan zakat. Infaq tidak mengenal nisab atau jumlah harta yang ditentukan secara hukum. Infaq tidak harus diberikan kepada mustahik tertentu, melainkan kepada siapapun, misalnya orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, atau orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
Diantara dalil yang mendasari infaq firman Allah SWT dalam AlQuran surat Ali Imran ayat 4, yang artinya: “orang orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit”, dan Surat Al-Baqarah ayat 272: ”…Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).
Dengan demikian, ibadah ini harus dilakukan dalam keadaan bagaimanapun, baik ketika seorang muslim berada dalam kondisi kaya maupun sebaliknya, sedikit ataupun banyak harta yang dimilikinya, karena setiap harta yang telah diinfaqkan pasti akan diganti oleh Allah dengan balasan yang cukup asal saja dilakukan untuk mencari keridhaanNya.
Urgensi infaq Pertama, infaq merupakan manisfestasi dari keimanan. Dalam Al-Quran disebutkan, bahwa ciri-ciri utama orang yang benar imannya adalah mereka yang berinfaq, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Anfal ayat 3: “Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada meraka. Itulah orang yang beriman dengan sebenarbenarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia”.
Kedua, mendapat pengampunan dosa. Allah SWT menjanjikan keuntungan yang besar bagi setiap muslim yang membiasakan diri dalam berinfaq, yaitu diampuninya dosa-dosanya dan dihapus kesalahan-kesalahannya. Bukankah tidak ada yang lebih besar dari itu tuntutan setiap manusia
yang berdosa selain meminta agar dosa-dosanya diampuni dan kesalahannya dimaafkan, bukankah setiap saat kita memohon agar Allah mengabulkan permintaan kita yang satu ini?
Nah, rupanya dengan berinfaq, keampunan Allah itu bisa kita raih, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 271: “…Dan Allah akan menghapus dari kamu sebahagian kesalahan-kesalahanmu”. Atau, yang terdapat di ujung ayat 3 surat Al-Anfal: “Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia”.
Ketiga, Orang-orang yang berinfaq didoakan Malaikat.
Rasululullah SAW bersabda: “Tak ada suatu hari pun seorang hamba berada di dalamnya, kecuali ada dua orang malaikat akan turun; seorang diantaranya berdo’a, “Ya Allah berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq”. Yang lainnya berdo’a, “Ya Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan infaq”.”. (HR. Al-Bukhoriy dan Muslim)
Keempat, meringankan beban orang lain. Dengan berinfaq atau bersedekah secara langsung atau tidak, kita sedang meringankan beban dan penderitaan seseorang. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang ingin doanya terkabul dan dibebaskan dari kesulitan, hendaknya dia mengatasi (menyelesaikan) kesulitan orang lain”.
Kelima sebagai bekal menuju akhirat.
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa`at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang lalim. (QS Al Baqorah (2):254)
Di satu sisi infaq ini bukan perkara mudah, karena ada penyakit yang merusak pahala infaq itu sendiri. Kita tidak mendapatkan balasan pahala apapun, karena termakan oleh virusnya yaitu mengungkit-ungkit kembali pemberian dan menyakiti hati penerima. Disamping itu juga kita harus melakukan perlawanan terhadap nafsu yang selalu menggiring kita kepada kecintaan terhadap harta secara berlebihan dan berlaku kikir, namun di sisi lain infaq itu tidak sulit dilakukan jika setiap muslim menyadari urgensitas infaq itu sendiri bagi kehidupan mereka.
Kita harus benar-benar menginsafi kalau sejauh ini belum menafkahkan sebagian harta di jalan Allah, berarti kita masih belum memiliki tabungan amal sebagai investasi akhirat, padahal kita hidup dengan karunia Allah yang melimpah. Bukankah Allah yang mempusakai langit dan bumi, bukankah Allah yang menitip sebagian karunianya untuk kita? Bahkan, Allah akan memberikan derajat lebih tingi kepada orang-orang yang menafkahkan hartanya, Allah menjanjikan kepada mereka balasan yang lebih baik.
Dibalik perintah dan anjuran berinfaq, setiap muslim perlu mengerti dan memahami bahwa Islam tidak membenarkan adanya kepincangan dalam masyarakat. Sementara satu pihak ada masyarakat yang hidup berlimpah dan bergelimang dengan kemewahan, sementara dipihak lain terdapat golongan miskin dan dhu’afa yang hidup seakan-akan terkapar di tanah.
Mulai saat ini kita harus mengubah cara bepikir, kebanyakan ummat Islam memandang berinfaq itu sebagai ornamen keshalehan pribadi, sebagai ladang amal orang-orang yang mampu, padahal lebih dari itu, ia merupakan tangungjawab sosial dari semua lapisan masayarakat muslim. Semoga semua kita menyadari, bahwa harta adalah titipan Allah. Dengan berinfaq, kekikiran dan keengganan untuk berbagi antara sesama akan sirna dengan sedirinya. Jika Allah menghendaki untuk mengambil titipan itu, cukuplah baginya mengatakan kun fayakun! Wallahu ‘a’lam.
Urgensi Infak dalam Kehidupan Seorang Muslim
Gema JUMAT, 14 Agustus 2015 Khutbah Jum’at, Khatib DR. H. Armiadi Musa, MA, Kepala Baitul Mal Aceh ADA sebuah kebiasaan yang bersifat alamiyah (semula jadi) pada manusia, bahwa ketika ia dilahirkan tangannya dalam keadaan mengepal dan ketika ia mati tangannya terbuka. Menurut ahli hikmah, hal ini mengandung filosofi tersendiri, bahwa manusia memiliki sifat dasar yang … Read more
...Dialog
Etika Berpolitik
Etika harus ditunjukkan sebagai simbol
Didiklah Anak dengan Lemah Lembut
Dalam pandangan sejarah, Presiden Soekarno
Guru PAI Harus Tersedia di Sekolah
Guru dikenal sebagai pahlawan tanpa
Khutbah
Merawat Ukhuwah Islamiyah Di Tahun Politik
Hari Ketika Mulut Dikunci
Dinas Syariat Islam
PERSAUDARAAN ANTAR KAUM MUSLIMIN
GEMA JUMAT, 13 SEPTEMBER 2019 Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail,MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) Surat al-An’am ayat 9-10 Dan apabila ada dua golongan
Bahaya Bersikap Sombong
GEMA JUMAT, 18 AGUSTUS 2017 Oleh: Dr. Murni, S.Pd,I., M.Pd (Dosen Prodi MPI Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar Raniry Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
Pusara Bidadari Kecil
GEMA JUMAT, 15 NOVEMBER 2019 Oleh: Nurjannah Usman Sudah lama dinanti Sudah lama dicari Sudah lama dirindui Ketika dia hadir Allah lebih menyayangi Dipanggil Ilahi
Nahi Mungkar Tugas Siapa?
Al-Munkar atau kemungkaran secara bahasa diartikan dengan al-amru al-qabih atau hal yang jelek. Demikian yang dijelaskan oleh al-Fayyumi dalam al-Misbah al-Munir. Secara syariat, makna al-munkar dijelaskan oleh Syaikh al-‘Allamah Ubaid bin Abdillah