Oleh : Murizal Hamzah
SAYA tidak kenal Zainuddin. Tidak pernah berbicara dengan pria tuna netra tersebut. Dia bukan pejabat. Juga bukan ulama yang memimpin dayah. Bukan sosok hartawan apalagi konglomerat. Boleh
dikatakan, dia bukan siapasiapa. Siapa duga, setelah penjual buah-buahan di trotoar meninggal dunia pekan lalu di pangkuan istri tercinta Maryana di Gampong Ruyung, Dusun Pintu Gerbang, Kecamatan
Masjid Raya, Aceh Besar, pria berkulit hitam manis ini menjadi pembicaraan hangat di sosial media.
Media menulis lengkap kehidupan ayah dua anak ini. Tak pelak, mata berkaca-kaca membaca kegigihan pria setengah abad ini mencari rezeki. Ada warisan dari hamba Allah yang bernama Zainuddin. Saya menyebut, Zainuddin adalah sosok karakter asli orang Aceh WarisanZainuddin OlehMurizal Hamzah yakni pantang menjadi pengemis. Padahal dalam kondisi buta bisa saja berprofesi sebagai pengemis dari kantor ke kantor menuju toko ke toko yakni menaruh tangan di bawah. Padahal Islam menegaskan tangan di atas (memberi) lebih mulia daripada tangan di bawah (menerima).
Kutipan lengkap hadits tersebut berasal dari Hakim Ibnu Hazm Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,” …”Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima); dan mulailah dari orang-orang yang banyak tanggungannya; dan sebaikbaik sedekah ialah yang diambil dari sisa kebutuhan sendiri, barangsiapa menjaga kehormatannya Allah akan menjaganya dan barangsiapa merasa cukup Allah akan mencukupkan kebutuhannya.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari.
Benar Zainuddin ini tidak bisa melihat secara fisik. Namun dibalik itu, dia memiliki
mata hati yang bersih. Buta mata tidak buta hati. Serambi Indonesia mengutip pembeli yang berencana mau memberi shadaqah kepadanya, justru dia yang memberikan shadaqah kepada pembeli karena pembeli tidak memiliki uang kecil. Berjualan di trotoar di kampus Darussalam sudah dilakukan pasca 26 Desember 2014.
Tak salah, pria kelahiran Meulaboh 1963 adalah tipe pria yang pantang menadah tangan. Bagaimana pun, bersusah payah di atas keringat sendiri lebih merdeka dan itu ibadah yang abadi. Pagi dia berjualan udang di Peunayong, lalu jam 12 siang-6 sore berjualan di Kampus Darussalam yang
bertepatan dengan waktu mahasiswa pulang kuliah. Seorang anaknya menemaninya di kampus Jantong Hatee Rakjat Atjeh.
Ketekunan dan kesabaran Zainuddin menjemput rezeki itu mengantar Qatar Charity memberikan bantuan ke rekeningnya setiap bulan. Qatar Charity memberi arahan agar dana itu digunakan untuk membeli sembako, usaha, dan tabungan. Pada waktu bersamaan, Baitul Mal Aceh juga memberikan santunan kepada pribadi yang rajin shalat tahajjud. Keluarga Zainuddin termasuk mustahik fakir uzur. Namun Zainuddin tetap bekerja tanpa berkeluh kesah.
Zainuddin mengajari kita yang sehat fisik untuk tidak menjadi pengemis yang mengulurkan tangan dalam arti sebenarnya atau pengemis proposal atau memeras warga. Zainuddin telah mewariskan nilai-nilai ilmu untuk bergiat di atas kaki sendiri. “Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, semoga almarhum ditempat di sisi Allah SWT. Kita beri penghormatan kepada Zainuddin-zainuddin lain di seluruh Aceh yang melakukan kerja mulia dengan segala keterbatasannya.