Gema JUMAT, 18 September 2015
Oleh : Sayed Muhammad Husen
Wisata islami adalah bagian muatan dari praktek ekonomi syariah. Sebab sektor ini, selain dapat mem-praktekkan prinsip-prinsip ekonomi syariah juga mensejahterakan sebagian muslim yang mencari nafkah (bekera) pada berbagai aktivitas parawisata. Misalnya, bidang transportasi, akomodasi dan konsumsi.
Faktor penentu apakah bisnis wisata itu telah islami atau tidak, ditentukan oleh sejauhmana pelaku wisata dan wisatawan mematuhi rambu-rambu atau batasan yang telah digariskan ajaran Islam. Tak dapat dipisahkan antara bisnis wisata dengan pengamalan ajaran Islam.
Bahkan yang lebih adalah pengalaman ajaran Islam dalam bisnis ini, sehingga keuntungan yang diperoleh benar-benar halal dan berkah. Tidak mengedepankan keuntungan semata-mata, lalu meninggalkan etika bisnis Islam.
Dalam prakteknya, wisata islami memadukan antara ibadah dan bisnis. Artinya, dunia wisata merupakan lahan terluas dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT, melakukan tafakkur dan membuat seluruh pemangku kepentingan bisnis bertambah taqwa. Tidak ada satu unsur pun yang membuat pelaku bisnis dan wisatawan melangggar syariat Islam. Bisnis transportasi, akomodasi, konsumsi dan bahkan marketing pariwisata, haruslah memenuhi aqad/perjanjian, kerelaan, kepuasan, keterbukaan, halal dan menjamin terlindunginya jiwa dan raga manusia. Tak boleh ada penipuan, manipulasi dan eksploitasi terhadap manusia. Keuntungan pun diprediksi secara wajar.
Karena itu, wisata islami tak dapat dipisahkan dengan agenda besar: pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Bisnis ini harus didudung pula oleh sumber daya insani (SDI) islami. Mustahil wisata islami terwujud jika sebagian pemangku kepentingan sektor ini masih terdapat insan yang niatnya tak bersih, kadar iman dan pengetahuan Islam yang rendah, serta masih ada interes untuk menyelip-kan unsur-unsur maksiat.
Maka, bisnis wisata islami sebenarnya harus dimulai dari investasi SDI islami. Bukankah tak masuk akal bis-nis islami digerakkan oleh SDI sekuler dan sama sekali tak berupaya mempelajari ketentuan muamalah Islam. Katakalankah bisnis ini terlanjur dimulai oleh SDI yang serba terbatas (belum islami), yang harus dilakukan adalah melakukan pendidikan Islam berkelanjutan; berbisnis sambil terus mendalami ajaran Islam.
Dalam konteks ini pula, diperlukan koreksi terhadap lembaga pendidikan yang “memproduksi” SDI pariwia-sata, untuk memastikan mereka benar-benar menyiapkan SDI pariwisata yang islami.