Oleh : DR.Tgk. H. Syahminan, M. Ag
Shalat adalah rukun Islam yang kedua yang yang diwajibkan oleh Allah pada Malam Isra’ Mi’raj tepatnya satu setengah tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinatul munawwarah dan ada juga ulama yang berpendapat lima tahun sebelum Nabi hijrah. Namun yang terpenting bagi kita adalah Shalat itu sebagai identitas orang yang beriman sebagaimana Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : Nabi SAW. bersabda, “Segala sesuatu itu memiliki tanda, dan tandanya keimanan adalah shalat.”
Dan bila seorang Muslim tidak melaksanakan Shalat maka ia telah melakukan Salah satu Dosa besar dan dia telah dianggap menjadi orang yang kufur terhadap nikmat Allah . Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh imam Ath-Thabarani dari sahabat Anas bin Malik Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : “Barangsiapa yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka ia telah kafir dengan terang-terangan.”
Shalat merupakan ibadah dan komunikasi langsung seorang hamba dengan Allah. Dan hamba yang beriman akan terus berkomunikasi dengan Allah dalam sehari semalam dalam lima kali Shalat yang diwajibkan bagi setiap muslim yang sudah mukallaf atau sudah dibebani kewajiban agama.
Shalat memiliki manfaat untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam Al Ghazali rahimaullah menuliskan bahwa shalat harus dikerjakan sungguh-sungguh dan tidak mungkin dilakukan dalam keadaan lalai. Shalat juga merupakan sarana komunikasi bagi jiwa manusia dengan Allah SWT dan mempunyai kedudukan yang sangat penting dan mendasar dalam Islam.
Adapun hikmah yang dikandung shalat sebagaimana disampaikan Allah dalam surat Al Ankabut ayat 45 , Allah Ta’ala berfirman:
Artinya : “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan Mungkar
Kata ‘al-fahsyâ` terulang di dalam al-Quran sebanyak tujuh kali. Sedang kata al-munkar terulang sebanyak 15 kali. Menurut kamus bahasa al-Qur’an, al-fahsyâ` terambil dari akar kata fahusya, yang pada mulanya berarti: “melampaui batas dalam (hal) keburukan dan kekejian, baik ucapan maupun perbuatan.” Dan kata ‘al-munkar’ pada mulanya berarti: “sesuatu yang tidak dikenal sehingga diingkari dalam arti tidak disetujui.” Itulah sebabnya al-Quran memerhadapkan kata ‘al-munkar’, yang berarti: “tidak dikenal atau diingkari,” dengan kata ‘al-ma’ruf’ yang berarti: “dikenal atau disetujui.”
Sebagian ulama mendefinisikan kata al-munkar– dalam pengertian syariat – adalah: “segala sesuatu yang melanggar norma-norma agama dan adat istiadat masyarakat.” Dari definisi ini, kata al-munkar memiliki pengertian lebih luas daripada kata ma’shiyah /maksiat.
Dari ayat yang menggandengkan kata al-fahsya’dan al-munkar dapat disimpulkan, bahwa Allah melarang manusia untuk melakukan segala macam kekejian dan pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat. Dan shalat mempunyai peranan yang sangat besar dalam mencegah kedua bentuk keburukan itu, bila dilaksanakan secara sempurna dan berkesinambungan.
Perbuatan keji dalam Islam merujuk kepada tindakan yang sangat buruk, termasuk dosa-dosa besar seperti membunuh, sementara perbuatan mungkar mencakup segala tindakan yang menjauhkan diri dari ajaran Allah dan bertentangan dengan nilai-nilai moral serta agama. Ayat tersebut menegaskan menegaskan kepada kita betapa pentingnya shalat dalam menahan diri dari perbuatan dosa dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak disenangi oleh Allah.
Para Ulama telah membagi Perbuatan keji menjadi dua macam yaitu :
Pertama, perbuatan keji kepada Allah seperti syirik, mensekutukan Allah, dan kepercayaan kepada kekuatan lain selain kekuatan Zat Allah SWT.
Kedua, perbuatan keji kepada sesama manusia seperti berzina, kikir, dhalim, menyebarkan berita palsu, berkata kasar dan bertindak terhadap sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai moral serta agama.
Sedangkan perbuatan mungkar adalah semua perbuatan yang dapat menjauhkan diri kita dengan Allah serta bertentangan dengan nilai nilai Agama dan norma dalam masyarakat seperti mencuri, membegal melakukan perbuatan al aza di jalan Umum yang dapat mengganggu lalu lintas jalan Raya.
Dalam hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda :
Artinya : “Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Lafadh al aza dalam hadi di atas adalah perbuatan seseorang yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain, terhadap dirinya sendiri, atau terhadap tubuhnya, baik di dunia atau di akhirat m melakukan “al Aza” dijalan Umum yang mengganggu ketertiban jalan yang dilalui manusia adalah sebuah kemungkaran. Seperti parkir mobil bukan pada tempatnya, jualan dipinggir jalan yang dapat mengganggu lalu lintas, membuat polisi tidur di jalan jalan umum secara berlebihan dan tidak sesuai dengan aturan sehingga dapat membahayahan pengguna jalan, ugal-ugalan dijalan menerobos lampu merah disaat wajib berhenti, tidak menngunakan fasilitas yang ada pada kenderaan seperti lampu rem, lampu sen kiri dan kanan ketika menggunakan kenderaan di jalan umum sehingga dapat membahayakan dan mencelakakan dan merugikan pengguna jalan lainnya. Ini semua termasuk kemungkaran karena dapat membahayakan orang lain. Karena pengguna jalan tidak mempertimbangkan nilai nilai moral dalam lalulintas jalan Raya.
Shalat yang kita laksanakan sehari semalam lima waktu diharapkan dapat memperbaiki akhlak kita dan berpengaruh dalam semua aspek kehidupan yang lebih baik dan dapat Mencegah dari Perbuatan Mungkar
Dari Sa’id bin Abi ‘Urubah dari Qatadah dari Al Hasan: “Barangsiapa yang melaksanakan shalat, lantas shalat tersebut tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia hanya akan semakin menjauh dari Allah.”
Artinya : “Barangsiapa yang melaksanakan Shalat, dan Shalat tersebut tidak dapat mencegahnya dari melakukan perbuatan Keji dan Mungkar, maka dia tidak akan mendapat tambahan apapun dari Allah kecuali Menjauh”
Sebagian ulama salaf sampai berkata, jikalau shalat yang kita lakukan tidak mencegah dari yang mungkar, maka sungguh itu berarti kita semakin jauh dari Allah kita mohon pada Allah keselamatan. Karena bisa jadi shalat yang kita lakukan tidak sesuai yang tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Lihatlah para ulama salaf dahulu, ketika mereka masuk dalam shalat mereka, mereka tidak merasakan lagi apa-apa kecuali bersama Allah.
Mencegah Keji dan Mungkar
Shalat bisa mencegah dari kemungkaran jika shalat tersebut dilakukan dalam bentuk sesempurna mungkin. Ketika shalat, seharusnya seseorang mengkonsentrasikan diri untuk dekat pada Allah. Jangan sampai ia menoleh ke kanan dan ke kiri sebagaimana kebiasaan sebagian orang yang shalat. Jangan sampai terlintas di hati berbagai pikiran ketika sudah masuk dalam shalat. Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Bentuk shalat yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar ditandai dengan menyempurnakan shalat yaitu memenuhi rukun, syarat, dan berusaha khusyu’ dalam shalat.
Hal ini ditandai dengan hati yang bersih, iman yang bertambah, semangat melakukan kebaikan dan mempersedikit atau bahkan menihilkan tindak kejahatan. Lantas hal-hal tersebut terus dijaga, maka itulah yang dinamakan shalat yang mencegah perbuatan keji dan mungkar. Inilah di antara manfaat terbesar dan buah dari shalat.” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 632).
Dari beberapa penjelasan para ulama dapat kita ambil kesimpulan bahwa Shalat memang bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar serta bisa mengajak pada kebaikan. Namun dengan syarat shalat tersebut dilakukan dengan Khusyu’: antara lain dengan cara membuang jauh hal-hal yang berhubungan di luar shalat ketika sedang melaksanakan shalat, bersemangat dalam hati untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, menghadirkan hati saat shalat dengan merenungi setiap makna bacaan dalam Shalat dan ayat bacaan yang diucap, memenuhi rukun, syarat, dan wajib serta melakukan hal-hal sunnah yang menyempurnakan Shalat dan tidak menoleh ke kanan dan ke kiri ketika sedang melaksanakan shalat
Jika ternyata tidak demikian shalat kita, maka patutlah kita mengoreksi diri. Dan tidak perlu jadikan shalat tersebut sebagai “kambing hitam”. Dari sahabat Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman:
Artinya :“Barangsiapa yang mendapati kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa yang mendapati selain dari itu, janganlah ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Muslim)
Demikian khutbah ini yang kami sanpaikan mudah mudahan ada manfaatnya bagi khatib sendiri dan bagi jamaah semua.
Khatib Mudir Ma’had Al Jami’ah UIN Ar-Raniry Aceh